Minggu, 06 Januari 2013

Doa dari Bumi

Diposting oleh Ardhia Dwivariska Astrinikko di 12:26 PM 0 komentar

— Kutipan dari buku ‘Long Distance Hearts’ —

     Aku pemuja cinta, cinta itu membuaiku. Dicekoki oleh segala keindahan, manisnya bujuk rayu, dan kemudian dengan lembut mereka menghembuskan angin angin surganya. Membuat ku terlena hingga aku menjadi seorang pemabuk. Pecandu cinta.
     Aku bahkan terlalu tegar, ketika kenyataan berbanding terbalik dengan mimpi mimpi seorang anak manusia. Semua rencana, semua cerita yang mencoba disusun indah, hilang. Terbang. Percuma.
     Cinta itu menjatuhkanku dari langit dan menghujam bumi dengan hebat. Berdentum keras dan menyadarkan dari buaian mimpi panjangku.
     Ini nyata. Bukan Negeri dongeng.
     Terlalu bodoh ketika aku menjadikan cinta itu menjadi sebuah trauma. Ketika kita menemukan cinta yang tepat, cinta itu adalah sebuah hamparan padang rumput hijau. Dengan langit biru, dan bunga bunga yang memperindah setiap sudutnya. Indah. Bebas. Kita bisa berteriak kencang. Inilah cinta. Tanpa batas, tanpa      Sepagi ini, aku masih terjaga. Mataku sama sekali tak mau terpejam. Pikiranku berlari liar. Menelurusi setiap imajinasi yang tak pernah tersentuh, dan kemudian berhenti di satu titik. Kamu.
     Aku memandangi foto yang menjadi wallpaper ponselku. Sosok yang tepat hari ini sudah tiga tahun ada dalam setiap perjalanan hariku. Menemani pagiku. Menyemangati kelesuanku. Sahabat bagi masalah masalah study-ku. Kakak bagi setiap tingkahku dan jarak ratusan meter menjadi penghubung hatinya dan hatiku.
     Tak mudah melakoni peran ini. Menjadi sabar, pengalah dan dewasa bukanlah sifat asliku. Tapi kamu… kamu mengajariku semua yang tak pernah diajari oleh siapa pun yang pernah singgah di hatiku.
     Pernah suatu hari, seorang mantan muncul dan mulai mengusik hidupku kembali. Dengan segala cara, dia mencoba masuk kedalam hatiku yang telah tersekat. Aku berharap, dia marah kepada mantanku dan memintanya jangan pernag menggangguku lagi.
     Salah aku berfikir demikian. Bukan itu yang dia lakukan. Pelan, dia membisikkan kalimat panjang kedalam ruang dengarku.
     “Tau gak kenapa kita gak boleh benci sama mantan kita? Dia dulu pernah bikin kita senyum-senyum sendiri kalau kita baca text dari dia. Dia dulu pernah kita peluk dan bilang ‘I Love You’. Dia dulu kita panggil ‘sayang’. Dia dulu suka bikin kita marah gak jelas gara-gara gak ada kabar, dan banyak hal lainnya yang dia lakukan. Lupa? Gak bisa benci? Buat apa? Di kenang aja. Kalau gak ada ‘dia’, kita gak ada tambahan certa kan? Ajak dia untuk tahu, apa indahnya berteman. hati gak bisa dipaksakan.”
     Entah terbuat dari apa hati manusia itu. Cara bicaranya lurus. Tanpa ekspresi. Hanya segores senyum tersayat tipis di bibirnya. Sedikit. Dalam. Namun penuh arti.
     Aku benci senyum itu. Aku benci kalau dia tersenyum. Aku luluh. Bersatu dengan bumi. Tak tersisa.
     Aku membuka lemari bajuku, aku pandangi semua koleksi kemeja hingga kaus yang ada di dalam lemariku. Mataku memburu. Setiap baris demi baris. Masih memburu.
     Jariku bermain pelan. Menelusuri setiap lipatan kaus yang terlipat rapi. Jariku berhenti pada sebuah baris. Paling bawah. Kemeja putih. Satu-satunya kemeja yang dilipat. Tidak digantung di bagian khusus hanger…
     Aku memacu langkah kakiku. Semakin cepat. Berburu dengan waktu. Menerobos keramaian pagi kota Purwokerto yang masih lengang. nafasku memburu. Jantungku berdentum kencang. Meronta. Seakan ingin keluar dari rongga dadaku dan berdetak sesuai ayunan kakiku,
     Aku menikmatinya, aku menikmati suasana seperti ini. Berlari berpacu dengan waktu. Lama aku tak melakukan hal ini. Berlari dari rumah menuju ke arah stasiun kereta api yang memang tak jauh dari rumahku. Mengingatkanku dengan dia yang hampir selalu ketinggalan kereta menuju Yogyakarta, dan sekarang, hari ini. Aku akan bertemu dengan dia. Orang yang aku sayangi itu. Yogyakarta. Kekasihku. Tujuanku.
     Yogyakarta. Selalu istimewa. Tempat yang begitu menyenangkan. Aku selalu suka tempat ini. Bersahabat. Nyaman. Ramah. Bersejarah.
     Di sini, Tiga tahun lalu kami pertama kali bertemu. Setelah satu tahun hanya berkomunikasi melalui dunia maya dan telepon. Friendster yang mempertemukan kita. Saling mengetuk hati. Memberikan signal dan kemudian menangkap getaran lembut itu. Tanpa sadar, hingga kami membiarkan sebuah benih itu tumbuh. Bertunas dan kemudian mekar menjadi cinta.
     Jogja sedang tak bersahabat pagi ini. Empat jam perjalanan dari Purwokerto membuat cuaca berubah. Mendung. Berharap ini bukan pertanda buruk untuk bertemu kekasihku. Tak lama setelah aku keluar dari stasiun Lempuyangan, sebuah sepeda motor mendekatiku. Seorang gadis manis hanya tersenyum ketika memintaku bergegas naik. Dia. Nama gadis itu Dia. Dia adalah adik dari kekasihku. Dia selalu tahu aku akan datang setiap tanggal sepuluh Maret.
     Berulang kali aku meminta agar tak usah dijemput. Tapi Dia selalu memaksa. Kata Dia, teman kakaknya adalah temannya juga. Iya teman. Aku hanya teman di mata mereka. Karena aku seorang lelaki. Terlalu tabu untuk mengenalkan aku sebagai kekasihnya.
     Sepeda motor Dia bergegas berhenti. Sepi.Tak banyak orang di tempat yang aku tuju sekarang. Hanya beberapa segelintir orang berpayung hitam yang keluar dengan wajah datar. Tanpa ekspresi. Begitu juga Dia. Dia tampak diam. Matanya mendadak sayu.
     Aku merangkulnya. Merangkulnya erat dan mengelus pelan bahunya. Huuufff… Aku menarik nafas panjang.
     Aku memulai langkah kakiku yang kaku menuju gerbang. Meski sepi. Inilah rumah kekasihku. Rumahnya yang terakhir. Tempat pemakaman umum.
     Rumput hijau tumbuh subur diatas gundukan tanah. Di depanku, ini kekasihku. Terbujur diam. Kaku. Tanpa suara. Bersinergi dengan bumi. Satu tahun sudah dia pergi meninggalkanku sendiri. Tanpa pamit. Kecelakaan lalu lintas mengakhiri cinta tabu kami. Sepeda motornya tertabrak bus antar kota ketika pulang kerja sore itu.
     Tuhan memanggilnya. Ke rumahNya.
     Sekuat tenaga aku berharap ini hanya mimpi. Sekuat tenaga pula aku mencoba terbangun dari tidurku. Tapi sekuat apa pun itu, ini nyata. Bukan mimpi. Bukan sebuah daram yang bisa di cut di tengah adegan dan bisa diperbaiki naskahnya.
     Mencoba kuat adalah usahaku untuk membahagiakan dia, kekasihku. Mencoba ikhlas adalah usahaku agar dia tenang di sisi Tuhan. Dan mencoba menjadi biasa, adalah usahaku agar aku terbiasa menjadikan kau kekasihku.
     Dia memegang tangan ku erat. Senyumnya kaku. Terpaksa. Dia menenangkanku. Kenyataan menyadarkanku. Kalu kami memang tak akan pernah bisa bersatu. Mungkin dengan mendoakanmu adalah caraku memelukmu dari jauh… dari bumi.

                                                                                                                       Nugroho Yogo Pratomo
                                                                                                                         ( @longdistance_R )
 

My World~ Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting