— Kutipan dari buku ‘Long Distance Hearts’ —
Aku pemuja cinta, cinta itu membuaiku. Dicekoki oleh segala
keindahan, manisnya bujuk rayu, dan kemudian dengan lembut mereka
menghembuskan angin angin surganya. Membuat ku terlena hingga aku
menjadi seorang pemabuk. Pecandu cinta.
Aku bahkan terlalu tegar, ketika kenyataan berbanding
terbalik dengan mimpi mimpi seorang anak manusia. Semua rencana, semua
cerita yang mencoba disusun indah, hilang. Terbang. Percuma.
Cinta itu menjatuhkanku dari langit dan menghujam bumi dengan
hebat. Berdentum keras dan menyadarkan dari buaian mimpi panjangku.
Ini nyata. Bukan Negeri dongeng.
Terlalu bodoh ketika aku menjadikan cinta itu menjadi sebuah
trauma. Ketika kita menemukan cinta yang tepat, cinta itu adalah sebuah
hamparan padang rumput hijau. Dengan langit biru, dan bunga bunga yang
memperindah setiap sudutnya. Indah. Bebas. Kita bisa berteriak kencang.
Inilah cinta. Tanpa batas, tanpa Sepagi ini, aku masih terjaga. Mataku sama sekali tak mau
terpejam. Pikiranku berlari liar. Menelurusi setiap imajinasi yang tak
pernah tersentuh, dan kemudian berhenti di satu titik. Kamu.
Aku memandangi foto yang menjadi wallpaper ponselku.
Sosok yang tepat hari ini sudah tiga tahun ada dalam setiap perjalanan
hariku. Menemani pagiku. Menyemangati kelesuanku. Sahabat bagi masalah
masalah study-ku. Kakak bagi setiap tingkahku dan jarak ratusan meter menjadi penghubung hatinya dan hatiku.
Tak mudah melakoni peran ini. Menjadi sabar, pengalah dan
dewasa bukanlah sifat asliku. Tapi kamu… kamu mengajariku semua yang tak
pernah diajari oleh siapa pun yang pernah singgah di hatiku.
Pernah suatu hari, seorang mantan muncul dan mulai mengusik
hidupku kembali. Dengan segala cara, dia mencoba masuk kedalam hatiku
yang telah tersekat. Aku berharap, dia marah kepada mantanku dan
memintanya jangan pernag menggangguku lagi.
Salah aku berfikir demikian. Bukan itu yang dia lakukan. Pelan, dia membisikkan kalimat panjang kedalam ruang dengarku.
“Tau gak kenapa kita gak boleh benci sama mantan kita? Dia
dulu pernah bikin kita senyum-senyum sendiri kalau kita baca text dari
dia. Dia dulu pernah kita peluk dan bilang ‘I Love You’. Dia
dulu kita panggil ‘sayang’. Dia dulu suka bikin kita marah gak jelas
gara-gara gak ada kabar, dan banyak hal lainnya yang dia lakukan. Lupa?
Gak bisa benci? Buat apa? Di kenang aja. Kalau gak ada ‘dia’, kita gak
ada tambahan certa kan? Ajak dia untuk tahu, apa indahnya berteman. hati
gak bisa dipaksakan.”
Entah terbuat dari apa hati manusia itu. Cara bicaranya
lurus. Tanpa ekspresi. Hanya segores senyum tersayat tipis di bibirnya.
Sedikit. Dalam. Namun penuh arti.
Aku benci senyum itu. Aku benci kalau dia tersenyum. Aku luluh. Bersatu dengan bumi. Tak tersisa.
Aku membuka lemari bajuku, aku pandangi semua koleksi kemeja
hingga kaus yang ada di dalam lemariku. Mataku memburu. Setiap baris
demi baris. Masih memburu.
Jariku bermain pelan. Menelusuri setiap lipatan kaus yang
terlipat rapi. Jariku berhenti pada sebuah baris. Paling bawah. Kemeja
putih. Satu-satunya kemeja yang dilipat. Tidak digantung di bagian
khusus hanger…
Aku memacu langkah kakiku. Semakin cepat. Berburu dengan
waktu. Menerobos keramaian pagi kota Purwokerto yang masih lengang.
nafasku memburu. Jantungku berdentum kencang. Meronta. Seakan ingin
keluar dari rongga dadaku dan berdetak sesuai ayunan kakiku,
Aku menikmatinya, aku menikmati suasana seperti ini. Berlari
berpacu dengan waktu. Lama aku tak melakukan hal ini. Berlari dari rumah
menuju ke arah stasiun kereta api yang memang tak jauh dari rumahku.
Mengingatkanku dengan dia yang hampir selalu ketinggalan kereta menuju
Yogyakarta, dan sekarang, hari ini. Aku akan bertemu dengan dia. Orang
yang aku sayangi itu. Yogyakarta. Kekasihku. Tujuanku.
Yogyakarta. Selalu istimewa. Tempat yang begitu menyenangkan.
Aku selalu suka tempat ini. Bersahabat. Nyaman. Ramah. Bersejarah.
Di sini, Tiga tahun lalu kami pertama kali bertemu. Setelah
satu tahun hanya berkomunikasi melalui dunia maya dan telepon.
Friendster yang mempertemukan kita. Saling mengetuk hati. Memberikan
signal dan kemudian menangkap getaran lembut itu. Tanpa sadar, hingga
kami membiarkan sebuah benih itu tumbuh. Bertunas dan kemudian mekar
menjadi cinta.
Jogja sedang tak bersahabat pagi ini. Empat jam perjalanan
dari Purwokerto membuat cuaca berubah. Mendung. Berharap ini bukan
pertanda buruk untuk bertemu kekasihku. Tak lama setelah aku keluar dari
stasiun Lempuyangan, sebuah sepeda motor mendekatiku. Seorang gadis
manis hanya tersenyum ketika memintaku bergegas naik. Dia. Nama gadis
itu Dia. Dia adalah adik dari kekasihku. Dia selalu tahu aku akan datang
setiap tanggal sepuluh Maret.
Berulang kali aku meminta agar tak usah dijemput. Tapi Dia
selalu memaksa. Kata Dia, teman kakaknya adalah temannya juga. Iya
teman. Aku hanya teman di mata mereka. Karena aku seorang lelaki.
Terlalu tabu untuk mengenalkan aku sebagai kekasihnya.
Sepeda motor Dia bergegas berhenti. Sepi.Tak banyak orang di
tempat yang aku tuju sekarang. Hanya beberapa segelintir orang berpayung
hitam yang keluar dengan wajah datar. Tanpa ekspresi. Begitu juga Dia.
Dia tampak diam. Matanya mendadak sayu.
Aku merangkulnya. Merangkulnya erat dan mengelus pelan bahunya. Huuufff… Aku menarik nafas panjang.
Aku memulai langkah kakiku yang kaku menuju gerbang. Meski
sepi. Inilah rumah kekasihku. Rumahnya yang terakhir. Tempat pemakaman
umum.
Rumput hijau tumbuh subur diatas gundukan tanah. Di depanku,
ini kekasihku. Terbujur diam. Kaku. Tanpa suara. Bersinergi dengan bumi.
Satu tahun sudah dia pergi meninggalkanku sendiri. Tanpa pamit.
Kecelakaan lalu lintas mengakhiri cinta tabu kami. Sepeda motornya
tertabrak bus antar kota ketika pulang kerja sore itu.
Tuhan memanggilnya. Ke rumahNya.
Sekuat tenaga aku berharap ini hanya mimpi. Sekuat tenaga
pula aku mencoba terbangun dari tidurku. Tapi sekuat apa pun itu, ini
nyata. Bukan mimpi. Bukan sebuah daram yang bisa di cut di tengah adegan dan bisa diperbaiki naskahnya.
Mencoba kuat adalah usahaku untuk membahagiakan dia,
kekasihku. Mencoba ikhlas adalah usahaku agar dia tenang di sisi Tuhan.
Dan mencoba menjadi biasa, adalah usahaku agar aku terbiasa menjadikan
kau kekasihku.
Dia memegang tangan ku erat. Senyumnya kaku. Terpaksa. Dia
menenangkanku. Kenyataan menyadarkanku. Kalu kami memang tak akan pernah
bisa bersatu. Mungkin dengan mendoakanmu adalah caraku memelukmu dari
jauh… dari bumi.
Nugroho Yogo Pratomo
( @longdistance_R )